Tanggalan
!-end>!-local>
Blog Archive
My Blog List
Diberdayakan oleh Blogger.
Ads 468x60px
Popular Posts
Social Icons
Followers
Featured Posts
Tujuan Pokok Al-Quran
Turunnya dan Tujuan Pokok Al-Quran
Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta
kaum Muslim di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan
hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama
yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Allah
berfirman, Sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk menuju jalan yang
sebaik-baiknya (QS, 17:9).
Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah,
dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai
persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasul saw., untuk
memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu: Kami telah
turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia
apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir (QS 16:44).
Disamping keterangan yang diberikan oleh Rasulullah saw., Allah
memerintahkan pula kepada umat manusia seluruhnya agar memperhatikan dan
mempelajari Al-Quran: Tidaklah mereka memperhatikan isi Al-Quran, bahkan
ataukah hati mereka tertutup (QS 47:24).
Mempelajari Al-Quran adalah kewajiban. Berikut ini beberapa
prinsip dasar untuk memahaminya, khusus dari segi hubungan Al-Quran dengan ilmu
pengetahuan. Atau, dengan kata lain, mengenai “memahami Al-Quran dalam
Hubungannya dengan Ilmu Pengetahuan.”( Persoalan ini sangat penting, terutama
pada masa-masa sekarang ini, dimana perkembangan ilmu pengetahuan demikian
pesat dan meliputi seluruh aspek kehidupan.
Kekaburan mengenai hal ini dapat menimbulkan ekses-ekses yang
mempengaruhi perkembangan pemikiran kita dewasa ini dan generasi-generasi yang
akan datang. Dalam bukunya, Science and the Modern World, A.N. Whitehead
menulis: “Bila kita menyadari betapa pentingnya agama bagi manusia dan betapa
pentingnya ilmu pengetahuan, maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa
sejarah kita yang akan datang bergantung pada putusan generasi sekarang
mengenai hubungan antara keduanya.”6
Tulisan Whithead ini berdasarkan apa yang terjadi di Eropa pada
abad ke-18, yang ketika itu, gereja/pendeta di satu pihak dan para ilmuwan di
pihak lain, tidak dapat mencapai kata sepakat tentang hubungan antara Kitab
Suci dan ilmu pengetahuan; tetapi agama yang dimaksudkannya dapat mencakup
segenap keyakinan yang dianut manusia.
Demikian pula halnya bagi umat Islam, pengertian kita terhadap
hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan akan memberi pengaruh yang tidak
kecil terhadap perkembangan agama dan sejarah perkembangan manusia pada
generasi-generasi yang akan datang.
Periode Turunnya Al-Quran
Al-Quran Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan susunannya
ditentukan oleh Allah SWT. dengan cara tawqifi, tidak menggunakan metode
sebagaimana metode-metode penyusunan buku-buku ilmiah. Buku-buku ilmiah yang
membahas satu masalah, selalu menggunakan satu metode tertentu dan dibagi dalam
bab-bab dan pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat di dalam Al-Quran Al-Karim,
yang di dalamnya banyak persoalan induk silih-berganti diterangkan.
Persoalan akidah terkadang bergandengan dengan persoalan hukum dan
kritik; sejarah umat-umat yang lalu disatukan dengan nasihat, ultimatum,
dorongan atau tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang
pula, ada suatu persoalan atau hukum yang sedang diterangkan tiba-tiba timbul
persoalan lain yang pada pandangan pertama tidak ada hubungan antara satu
dengan yang lainnya. Misalnya, apa yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat
216-221, yang mengatur hukum perang dalam asyhur al-hurum berurutan dengan
hukum minuman keras, perjudian, persoalan anak yatim, dan perkawinan dengan
orang-orang musyrik.
Yang demikian itu dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa
ajaran-ajaran Al-Quran dan hukum-hukum yang tercakup didalamnya merupakan satu kesatuan
yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada
pemisahan antara satu dengan yang lainnya. Dalam menerangkan masalah-masalah
filsafat dan metafisika, Al-Quran tidak menggunakan istilah filsafat dan
logika. Juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Yang
demikian ini membuktikan bahwa Al-Quran tidak dapat dipersamakan dengan
kitab-kitab yang dikenal manusia.
Tujuan Al-Quran juga berbeda dengan tujuan kitab-kitab ilmiah.
Untuk memahaminya, terlebih dahulu harus diketahui periode turunnya Al-Quran.
Dengan mengetahui periode-periode tersebut, tujuan-tujuan Al-Quran akan lebih
jelas.
Para ulama ‘Ulum Al-Quran membagi sejarah turunnya Al-Quran dalam
dua periode: (1) Periode sebelum hijrah; dan (2) Periode sesudah hijrah.
Ayat-ayat yang turun pada periode pertama dinamai ayat-ayat Makkiyyah, dan
ayat-ayat yang turun pada periode kedua dinamai ayat-ayat Madaniyyah. Tetapi,
di sini, akan dibagi sejarah turunnya Al-Quran dalam tiga periode, meskipun
pada hakikatnya periode pertama dan kedua dalam pembagian tersebut adalah
kumpulan dari ayat-ayat Makkiyah, dan periode ketiga adalah ayat-ayat
Madaniyyah. Pembagian demikian untuk lebih menjelaskan tujuan-tujuan pokok
Al-Quran.
Periode Pertama
Diketahui bahwa Muhammad saw., pada awal turunnya wahyu pertama
(iqra’), belum dilantik menjadi Rasul. Dengan wahyu pertama itu, beliau baru
merupakan seorang nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan apa yang
diterima. Baru setelah turun wahyu kedualah beliau ditugaskan untuk
menyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya, dengan adanya firman Allah: “Wahai
yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan” (QS 74:1-2).
Kemudian, setelah itu, kandungan wahyu Ilahi berkisar dalam tiga
hal. Pertama, pendidikan bagi Rasulullah saw., dalam membentuk kepribadiannya.
Perhatikan firman-Nya: Wahai orang yang berselimut, bangunlah dan sampaikanlah.
Dan Tuhanmu agungkanlah. Bersihkanlah pakaianmu. Tinggalkanlah kotoran (syirik).
Janganlah memberikan sesuatu dengan mengharap menerima lebih banyak darinya,
dan sabarlah engkau melaksanakan perintah-perintah Tuhanmu (QS 74:1-7).
Dalam wahyu ketiga terdapat pula bimbingan untuknya: Wahai orang
yang berselimut, bangkitlah, shalatlah di malam hari kecuali sedikit darinya,
yaitu separuh malam, kuranq sedikit dari itu atau lebih, dan bacalah Al-Quran
dengan tartil (QS 73:1-4).
Perintah ini disebabkan karena Sesungguhnya kami akan menurunkan
kepadamu wahyu yang sangat berat (QS 73:5).
Ada lagi ayat-ayat lain, umpamanya: Berilah peringatan kepada
keluargamu yang terdekat. Rendahkanlah dirimu, janganlah bersifat sombong
kepada orang-orang yang beriman yang mengikutimu. Apabila mereka (keluargamu)
enggan mengikutimu, katakanlah: aku berlepas dari apa yang kalian kerjakan (QS
26:214-216).
Demikian ayat-ayat yang merupakan bimbingan bagi beliau demi
suksesnya dakwah.
Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan af’al
Allah, misalnya surah Al-A’la (surah ketujuh yang diturunkan) atau surah
Al-Ikhlash, yang menurut hadis Rasulullah “sebanding dengan sepertiga
Al-Quran”, karena yang mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula
persoalan-persoalan tauhid dan tanzih (penyucian) Allah SWT.
Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiah, serta
bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat jahiliah
ketika itu. Ini dapat dibaca, misalnya, dalam surah Al-Takatsur, satu surah
yang mengecam mereka yang menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma’un yang
menerangkan kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim serta pandangan
agama mengenai hidup bergotong-royong.
Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan
bermacam-macam reaksi di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksi-reaksi
tersebut nyata dalam tiga hal pokok:
- Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran-ajaran Al-Quran.
- Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al-Quran, karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang (QS 43:22), dan atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: “Kalau sekiranya Bani Hasyim memperoleh kemuliaan nubuwwah, kemuliaan apa lagi yang tinggal untuk kami.”
- Dakwah Al-Quran mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya.
Periode Kedua
Periode kedua dari sejarah turunnya Al-Quran berlangsung selama
8-9 tahun, dimana terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam dan jahiliah.
Gerakan oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara dan sistem untuk
menghalangi kemajuan dakwah Islamiah.
Dimulai dari fitnah, intimidasi dan penganiayaan, yang
mengakibatkan para penganut ajaran Al-Quran ketika itu terpaksa berhijrah ke
Habsyah dan para akhirnya mereka semua –termasuk Rasulullah saw.– berhijrah ke
Madinah.
Pada masa tersebut, ayat-ayat Al-Quran, di satu pihak, silih
berganti turun menerangkan kewajiban-kewajiban prinsipil penganutnya sesuai
dengan kondisi dakwah ketika itu, seperti: Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu
(agama) dengan hikmah dan tuntunan yang baik, serta bantahlah mereka dengan
cara yang sebaik-baiknya (QS 16:125).
Dan, di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman yang pedas terus
mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran, seperti: Bila
mereka berpaling maka katakanlah wahai Muhammad: “Aku pertakuti kamu sekalian
dengan siksaan, seperti siksaan yang menimpa kaum ‘Ad dan Tsamud” (QS 41:13).
Selain itu, turun juga ayat-ayat yang mengandung
argumentasi-argumentasi mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat
berdasarkan tanda-tanda yang dapat mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari,
seperti: Manusia memberikan perumpamaan bagi kami dan lupa akan kejadiannya,
mereka berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah
lapuk dan hancur?” Katakanlah, wahai Muhammad: “Yang menghidupkannya ialah
Tuhan yang menjadikan ia pada mulanya, dan yang Maha Mengetahui semua kejadian.
Dia yang menjadikan untukmu, wahai manusia, api dari kayu yang hijau (basah)
lalu dengannya kamu sekalian membakar.” Tidaklah yang menciptakan langit dan
bumi sanggup untuk menciptakan yang serupa itu? Sesungguhnya Ia Maha Pencipta
dan Maha Mengetahui. Sesungguhnya bila Allah menghendaki sesuatu Ia hanya
memerintahkan: “Jadilah!”Maka jadilah ia (QS 36:78-82).
Ayat ini merupakan salah satu argumentasi terkuat dalam
membuktikan kepastian hari kiamat. Dalam hal ini, Al-Kindi berkata: “Siapakah
di antara manusia dan filsafat yang sanggup mengumpulkan dalam satu susunan
kata-kata sebanyak huruf ayat-ayat tersebut, sebagaimana yang telah disimpulkan
Tuhan kepada Rasul-Nya saw., dimana diterangkan bahwa tulang-tulang dapat hidup
setelah menjadi lapuk dan hancur; bahwa qudrah-Nya menciptakan seperti langit
dan bumi; dan bahwa sesuatu dapat mewujud dari sesuatu yang berlawanan
dengannya.”7
Disini terbukti bahwa ayat-ayat Al-Quran telah sanggup memblokade
paham-paham jahiliah dari segala segi sehingga mereka tidak lagi mempunyai arti
dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat.
Periode Ketiga
Selama masa periode ketiga ini, dakwah Al-Quran telah dapat
mewujudkan suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup
bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama
Al-Madinah Al-Munawwarah). Periode ini berlangsung selama sepuluh tahun, di
mana timbul bermacam-macam peristiwa, problem dan persoalan, seperti:
Prinsip-prinsip apakah yang diterapkan dalam masyarakat demi mencapai
kebahagiaan? Bagaimanakah sikap terhadap orang-orang munafik, Ahl Al-Kitab,
orang-orang kafir dan lain-lain, yang semua itu diterangkan Al-Quran dengan
cara yang berbeda-beda?
Dengan satu susunan kata-kata yang membangkitkan semangat seperti
berikut ini, Al-Quran menyarankan: Tidakkah sepatutnya kamu sekalian memerangi
golongan yang mengingkari janjinya dan hendak mengusir Rasul, sedangkan
merekalah yang memulai peperangan. Apakah kamu takut kepada mereka?
Sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditakuti jika kamu sekalian benar-benar
orang yang beriman. Perangilah! Allah akan menyiksa mereka dengan perantaraan
kamu sekalian serta menghina-rendahkan mereka; dan Allah akan menerangkan kamu
semua serta memuaskan hati segolongan orang-orang beriman (QS 9:13-14).
Adakalanya pula merupakan perintah-perintah yang tegas disertai
dengan konsiderannya, seperti: Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya minuman
keras, perjudian, berhala-berhala, bertenung adalah perbuatan keji dari
perbuatan setan. Oleh karena itu hindarilah semua itu agar kamu sekalian
mendapat kemenangan. Sesungguhnya setan tiada lain yang diinginkan kecuali
menanamkan permusuhan dan kebencian diantara kamu disebabkan oleh minuman keras
dan perjudian tersebut, serta memalingkan kamu dari dzikrullah dan sembahyang,
maka karenanya hentikanlah pekerjaan-pekerjaan tersebut (QS 5:90-91).
Disamping itu, secara silih-berganti, terdapat juga ayat yang
menerangkan akhlak dan suluk yang harus diikuti oleh setiap Muslim dalam
kehidupannya sehari-hari, seperti: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memasuki satu rumah selain rumahmu kecuali setelah minta izin dan
mengucapkan salam kepada penghuninya. Demikian ini lebih baik bagimu. Semoga
kamu sekalian mendapat peringatan (QS 24:27).
Semua ayat ini memberikan bimbingan kepada kaum Muslim menuju
jalan yang diridhai Tuhan disamping mendorong mereka untuk berjihad di jalan
Allah, sambil memberikan didikan akhlak dan suluk yang sesuai dengan keadaan
mereka dalam bermacam-macam situasi (kalah, menang, bahagia, sengsara, aman dan
takut). Dalam perang Uhud misalnya, di mana kaum Muslim menderita tujuh puluh
orang korban, turunlah ayat-ayat penenang yang berbunyi: Janganlah kamu
sekalian merasa lemah atau berduka cita. Kamu adalah orang-orang yang tinggi
(menang) selama kamu sekalian beriman. Jika kamu mendapat luka, maka golongan
mereka juga mendapat luka serupa. Demikianlah hari-hari kemenangan Kami
perganti-gantikan di antara manusia, supaya Allah membuktikan orang-orang
beriman dan agar Allah mengangkat dari mereka syuhada, sesungguhnya Allah tiada
mengasihi orang-orangyang aniaya (QS 3:139-140).
Selain ayat-ayat yang turun mengajak berdialog dengan orang-orang
Mukmin, banyak juga ayat yang ditujukan kepada orang-orang munafik, Ahli Kitab
dan orang-orang musyrik. Ayat-ayat tersebut mengajak mereka ke jalan yang
benar, sesuai dengan sikap mereka terhadap dakwah. Salah satu ayat yang
ditujukan kepada ahli Kitab ialah: Katakanlah (Muhammad): “Wahai ahli kitab
(golongan Yahudi dan Nasrani), marilah kita menuju ke satu kata sepakat
diantara kita yaitu kita tidak menyembah kecuali Allah; tidak
mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, tidak pula mengangkat sebagian dari
kita tuhan yang bukan Allah.” Maka bila mereka berpaling katakanlah: “Saksikanlah
bahwa kami adalah orang-orang Muslim” (QS 3:64).
Dakwah menurut Al-Quran
Dan ringkasan sejarah turunnya Al-Quran, tampak bahwa ayat-ayat
Al-Quran sejalan dengan pertimbangan dakwah: turun sedikit demi sedikit
bergantung pada kebutuhan dan hajat, hingga mana kala dakwah telah menyeluruh,
orang-orang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Ketika itu berakhirlah
turunnya ayat-ayat Al-Quran dan datang pulalah penegasan dari Allah SWT: Hari
ini telah Kusempurnakan agamamu dan telah Kucukupkan nikmat untukmu serta telah
Kuridhai Islam sebagai agamamu (QS 5:3).
Uraian di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat Al-Quran disesuaikan
dengan keadaan masyarakat saat itu. Sejarah yang diungkapkan adalah sejarah
bangsa-bangsa yang hidup di sekitar Jazirah Arab. Peristiwa-peristiwa yang
dibawakan adalah peristiwa-peristiwa mereka. Adat-istiadat dan ciri-ciri
masyarakat yang dikecam adalah yang timbul dan yang terdapat dalam masyarakat
tersebut.
Tetapi ini bukan berarti bahwa ajaran-ajaran Al-Quran hanya dapat
diterapkan dalam masyarakat yang ditemuinya atau pada waktu itu saja. Karena
yang demikian itu hanya untuk dijadikan argumentasi dakwah. Sejarah umat-umat
diungkapkan sebagai pelajaran/peringatan bagaimana perlakuan Tuhan terhadap
orang-orang yang mengikuti jejak-jejak mereka.
Sebagai suatu perbandingan, Al-Quran dapat diumpamakan dengan
seseorang yang dalam menanamkan idenya tidak dapat melepaskan diri dari
keadaan, situasi atau kondisi masyarakat yang merupakan objek dakwah. Tentu
saja metode yang digunakannya harus sesuai dengan keadaan, perkembangan dan
tingkat kecerdasan objek tersebut. Demikian pula dalam menanamkan idenya,
cita-cita itu tidak hartya sampai pada batas suatu masyarakat dan masa
tertentu; tetapi masih mengharapkan agar idenya berkembang pada semua tempat
sepanjang masa.
Untuk menerapkan idenya itu, seorang da’i tidak boleh bosan dan
putus asa. Dan dalam merealisasikan cita-citanya, ia harus mampu menyatakan dan
mengulangi usahanya walaupun dengan cara yang berbeda-beda. Demikian pula
ayat-ayat Al-Quran yang mengulangi beberapa kali satu persoalan. Tetapi untuk
menghindari terjadinya perasaan bosan, susunan kata-katanya –oleh Allah SWT–
diubah dan dihiasi sehingga menarik pendengarannya. Bukankah
argumentasi-argumentasi Al-Quran mengenai soal-soal yang dipaparkan dapat
dipergunakan di mana, kapan dan bagi siapa saja, serta dalam situasi dan
kondisi apa pun?
Argumen kosmologis (cosmological argument) –yang oleh Immanuel
Kant dikatakan sebagai suatu argumen yang sangat dikagumi dan merupakan salah
satu dalil terkuat mengenai wujud Pencipta (Prime Cause)– merupakan salah satu
argumentasi Al-Quran untuk maksud tersebut. Bukankah juga penolakan Al-Quran
terhadap syirik (politeisme) meliputi segala macam dan bentuk politeisme yang
telah timbul, termasuk yang dianut oleh orang-orang Arab ketika turunnya
Al-Quran?
Dapat diperhatikan pula, bahwa tiada satu filsafat pun yang
memaparkan perincian-perinciannya dari A sampai Z dalam bentuk abstrak tanpa
memberikan contoh-contoh hidup dalam masyarakat tempat ia muncul atau
berkembang. Cara yang demikian ini tidak mungkin akan mewujud; kalau ada, maka
ia hanya sekadar merupakan teori-teori belaka yang tidak dapat diterapkan dalam
suatu masyarakat.
Tidakkah menjadi keharusan satu gerakan yang bersifat universal
untuk memulai penyebarannya di forum internasional. Tapi, cara paling tepat
adalah menyebarkan ajaran-ajarannya dalam masyarakat tempat timbulnya gerakan
itu, dimana penyebar-penyebarnya mengetahui bahasa, tradisi dan adat-istiadat
masyarakat tadi. Kemudian, bila telah berhasil menerapkan ajaran-ajarannya
dalam suatu masyarakat tertentu, maka masyarakat tersebut dapat dijadikan
“pilot proyek” bagi masyarakat lainnya. Hal ini dapat kita lihat pada Fasisme,
Zionisme, Komunisme, Nazisme, dan lain-lain. Dengan demikian, tidak ada alasan
untuk mengatakan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran itu khusus untuk masyarakat pada
masa diturunkannya saja.
Tujuan Pokok Al-Quran
Dari sejarah diturunkannya Al-Quran, dapat diambil kesimpulan
bahwa Al-Quran mempunyai tiga tujuan pokok:
- Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
- Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
- Petunjuk mengenal syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih singkat, “Al-Quran adalah petunjuk bagi selunih manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.”
Semoga Bermanfaat
Langganan:
Postingan (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar